Kamis, 18 Agustus 2016

cara membesarkan anak lelaki

Bagaimana jika kita mengajarkan kepada anak
laki-laki kita bahwa komitmen, kontrol
terhadap hasratnya, dan menghormati sumpah

Semuanya bermula dari dalam rahim. Ketika
melihat gambar kabur hasil USG, seorang ayah
berteriak, "Lihat, anakku laki-laki yang sehat!"
Orang-orang dewasa di sekitarnya lalu
mengelilingi cetakan gambar ini dan merasa
antusias dengan penis yang mereka lihat di
sana, menunjuknya, dan mengedarkannya. Si
ayah dan ibu kemudian berbicara dalam nada
yang akan konsisten terdengar sepanjang
hidup anak ini: Kamu memiliki penis. Kamu
harus bangga.
Sang anak pun lahir. Semua mata tertuju pada
tanda kejantanan yang akan mengubah
segalanya, dari potensi memperoleh warisan
hingga struktur keluarga. Ayah dan ibu
kemudian memvisualisasikan bagaimana sang
anak akan berbagi kesukaan akan olahraga
yang sama, bermain tangkap bola, dan berlatih
naik sepeda bersama orangtua.
Read the English version of this story
Di tempat lain, seorang anak perempuan lahir
dan atmosfer keraguan muncul. Muncul
kalimat, "Anakku seorang perempuan", yang
dilanjutkan dengan berbagai ucapan tentang
bagaimana anak itu harus dilindungi dari dunia
di sekelilingnya, dan lebih lagi, dari fakta
bahwa dia adalah seorang perempuan.
Tapi untuk anak laki-laki, "Anakku laki-laki,
aku tak akan kehilangan apa-apa"
Seorang anak laki-laki tumbuh dengan
memainkan senapan dan pedang, serta
menghancurkan mobil mainan. Ia diajarkan
bahwa boneka adalah untuk mereka yang
kurang jantan dan bermain rumah-rumahan itu
bodoh. Lebih parah lagi, mereka diberitahu
bahwa pekerjaan rumah dan mengurus anak
adalah pekerjaan perempuan.
Kita juga membuat aktivitas mengejar dan
mendekati perempuan menjadi tanda
kejantanan bagi seorang laki-laki. Berapa
perempuan yang telah kamu jadikan pacar?
Sudah berapa kali kamu mencium perempuan?
Berapa perempuan yang sudah kamu lihat
pakaian dalamnya? Dan berapa perempuan
yang sudah kamu sentuh?
Kita kerap tertawa ketika seorang anak laki-
laki bercerita tentang keberhasilannya
mendekati seorang perempuan. Kita tak
memikirkan tentang sang perempuan.
Permainan para penakluk
“Kamu sudah pacaran sampai mana? Sudah
home run ?”
Kita bertanya kepada laki-laki seolah proses
menaklukkan seorang perempuan adalah
sebuah permainan. Namun, kita memberi
stigma kepada perempuan yang tak lagi
perawan bahwa mereka adalah “gampangan”
dan seorang pria baik-baik seharusnya
meninggalkan mereka.
Anak laki-laki muda ditanya oleh ayah mereka,
“Apakah kamu sudah pernah bermasturbasi?”
Mereka diberitahu bahwa masturbasi bisa
membuat mereka bertambah tinggi, bahwa hal
tersebut adalah kenyataan hidup, dan bahwa
mereka memang memiliki hasrat tak terkontrol
yang membuat mereka tak ubahnya seperti
hewan ketika sedang berurusan dengan nafsu.
Tapi seorang anak perempuan, ia harus tetap
suci. Dia harus tetap tak tahu apa-apa
tentang tubuhnya. Dia tak boleh
mengeksplorasinya sampai dia tumbuh
dewasa dan menikah. Dia tak boleh mencari
sentuhan laki-laki sampai ia dibalut busana
pengantin dan ayahnya memberi izin.
Berperilaku sebaliknya, maka seorang
perempuan akan dicap sebagai perempuan
yang tak dibesarkan dengan baik. Mengikuti
kata hati akan mendatangkan penghakiman
baginya. Perilaku tak senonoh yang diterima
seorang perempuan adalah salahnya, karena
tak berpakaian cukup tertutup. Lagipula ereksi
dianggap sebagai kodrat seorang laki-laki!
Anak laki-laki akan tetap menjadi anak laki-
laki
Selanjutnya si anak itu akan beranjak dewasa,
sebuah episode yang akan banyak diwarnai
oleh alkohol dan testosteron, serta kunjungan
ke klub malam dan pijat plus-plus. Ketika
dipertanyakan, malam-malam itu dengan
mudah dijustifikasi sebagai “hanya bersenang-
senang".
"Kamu punya pacar?” mereka akan bertanya.
“Ambil keperawanannya," begitu anak laki-laki
diberitahu, dengan mengubah “keperawanan”
menjadi kata benda untuk menggarisbawahi
bagaimana keadaan tersebut bisa
dipindahkan. Sebagai konsekuensinya, sang
perempuan akan menjadi “terikat”. Seberapa
sering kita mendengar “hamili dia agar dia
terikat padamu”?
Bahkan anak laki-laki akan mendengar ibu
mereka sendiri membuat alasan tentang
suaminya yang sedang merayu perempuan
lain. “Laki-laki akan selalu menjadi anak laki-
laki ( boys will be boys), ” kata mereka.
Bukannya meminta sang suami
bertanggungjawab, mereka akan menyerang
sang perempuan yang dijadikan selingkuhan
oleh suaminya. Sedangkan sang suami hanya
“sedang menjadi laki-laki".
Lalu mengapa kita heran dengan paksaan
seksual atau kurang sensitifnya emosi seorang
laki-laki?Ketika mereka dinilai berdasarkan
petualangan seksualnya (dan bukan
kedalaman perasaan mereka terhadap
pasangannya), apa yang mereka pelajari
tentang seks dan cinta?
Ketika anak laki-laki kita diajarkan untuk tidur
dengan beberapa perempuan yang berbeda —
dan hanya menikah dengan satu perempuan
yang masih perawan — apakah mengejutkan
ketika mereka mencari kesenangannya di luar?
Ketika kejantanan dikaitkan secara erat
dengan seks dan aktivitas mengejar
perempuan, apakah akan mengherankan jika
dia kemudian menolak menghargai istrinya?
Bukankah situasinya akan berbeda ketika kita
mendefinisikan kejantanan sebagai rasa
hormat terhadap semua perempuan (dan
bukan hanya terhadap ibu, saudara perempuan
dan istri)?
Bagaimana jika kita mengajarkan kepada anak
laki-laki kita bahwa komitmen, kontrol
terhadap hasratnya, dan menghormati sumpah
orang lain adalah apa yang akan
menjadikannya laki-laki sejati?
Bagaimana jika menjadi seorang laki-laki
artinya adalah mampu mendukung
keluarganya, bahkan jika ini termasuk
mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus
anak. Betapa hebatnya jika menjadi ayah yang
baik dan sangat mencintai anaknya dinilai
lebih berharga daripada sekadar menjadi ayah
secara biologis.
Bagaimana jika anak laki-laki kita belajar
bahwa pengalaman seksual terbaik adalah
yang berakar secara mendalam pada cinta?
Bagaimana jika kita membesarkan laki-laki
yang justru merasa terhina ketika mereka tak
mampu mengendalikan hasratnya, bukannya
tersanjung.
Dunia ini berubah, jadi mungkin laki-laki masa
depan akan menjadi lebih progresif, lebih hati-
hati, dan menjunjung kesetaraan, serta lebih
menghargai pendapat dan kepuasan
perempuan. Mungkin beberapa faktor
pendorong eksternal juga akan berubah,
seperti seorang tokoh atau sebuah acara
televisi akan lebih banyak mengajarkan anak-
anak kita tentang seks yang dilandasi cinta,
bukan sekadar casual sex .
Tapi bagaimana jika mereka tak seberuntung
itu, dan mereka melanjutkan hidupnya dengan
apa yang mereka pelajari dari ayah, paman
dan ibunya serta ya, bahkan dari kita?
Apakah Anda akan terkejut bahwa inilah cara
anak laki-laki kita membesarkan anaknya
nanti?

Tidak ada komentar:

bersiin noda

1. Anti Noda Bandel ( Alkali) Sifat kimiawi : Merenggangkan (melemaskan / melembutkan) kontur serat dengan tujuan “membuka jalan” bagi molek...