Rabu, 20 Mei 2015

Alasan Dokter Negara Maju "Pelit" Memberikan Obat ke Anak

Belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik
terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak ada perbaikan
aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dr.
Knol.
"Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly
this is a viral infection." kata dokter tua itu.
"Ha? Just wait and see?" batinku meradang.
Ya, aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa
pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi
masak sih nggak diapa-apain.
"Obat penurun panas Dok?" tanyaku lagi.
"Actually that is not necessary if the fever below 40 C."
Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat
penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat
lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat.
Karena itu, aku membawa obat dari Indonesia.
Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan
frekuensi muntahnya bertambah. Aku kembali ke dokter.
Dia tetap menyuruhku wait and see. Pemeriksaan
laboratorium akan dilakukan bila panas anakku menetap
hingga hari ke tujuh.
"Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok," kataku.
Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. "Apakah dia
sudah minum suatu obat?"
Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah
ngomel-ngomel,
"Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia
muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan
untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi
lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol
saja."
Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum
ramah, tapi aku jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue
lulusan fakultas kedokteran tau!
Setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban
kekesalanku.
"Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat
penurun panas nggak pake diukur suhunya. Mau 37, 38
apa 39 derajat, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit
panas, penurun panas ya pasti dikasih. Masa dia bilang
ibuprofen nggak baik buat anak!"
Sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak
mencontek yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-
asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan
dan belajar banyak hal, tapi secuil-secuil ilmu kudapat.
Seperti orang travelling Eropa dalam dua minggu.
Menclok sebentar di Paris, dua hari ke Roma. Dua hari di
Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna.
Puas berdiam di Berlin dan Swiss, waktu habis. Tibalah
saat pulang ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah
keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota
utama. Banyak negara dan kota di Eropa belum
disambangi. Itulah kami, pemuda-pemudi fresh graduate
from the oven Fakultas Kedokteran. Malah yang kami
pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam
praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep
cespleng, kami mengintip resep ajian senior!
Setelah Malik sembuh, Lala, putri pertamaku sakit.
Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia.
Batuknya tak hilang dan ingusnya masih meler. Lima hari
kemudian, Lala kubawa ke huisart.
"Just drink a lot," katanya ringan.
"Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?" tanyaku tak
puas.
"This is mostly a viral infection, no need for an
antibiotik," jawabnya lagi.
Lalu ngapain dong aku ke dokter,tiap ke dokter pulang
nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin
keq!
"Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat
juga banyak."
Ternyata isi obat Thyme itu hanya ekstrak daun thyme
dan madu.
Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk
berintim-intim dengan internet. Di kepalaku, cara berobat
yang betul adalah seperti di Indonesia.
Putriku sembuh. Sebulan kemudian sakit lagi. Batuk pilek
putriku kali ini ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia
sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena
di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit.
"Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya?"
Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop,
melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku
menjawab,"Nothing to worry. Just a viral infection."
"Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan
atau dua bulan Dok,"
Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu
tersenyum. "Do you know how many times normally
children get sick every year?"
"Twelve time in a year, researcher said," katanya sambil
tersenyum lebar. "Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter
kalau penyakit anakmu tak terlalu berat," sambungnya.
Aku pulang dengan perasaan malu. Barangkali si dokter
benar, aku selama ini kurang belajar.
Setelah aku beradaptasi dengan kehidupan di Belanda,
aku berinteraksi dengan internet. Aku menemukan artikel
Prof. Iwan Darmansjah, ahli obat-obatan Fakultas
Kedokteran UI.
"Batuk - pilek beserta demam yang terjadi 6 - 12 bulan
masih wajar.observasi menunjukkan kunjungan ke dokter
terjadi 2 - 3 minggu selama bertahun-tahun."
"Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan
kesalahkaprahan penanganannya, Pertama, obat
diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95%
serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam
disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat
membunuh virus. Di lain pihak, antibiotik malah
membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi
menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat
menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak,
sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh
sakit setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi.
Duuh…kemana saja aku selama ini. Eh..sebetulnya..bukan
salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke
dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku
lho!.
Di Belanda 'dipaksa' tak pernah mendapat antibiotik
untuk penyakit khas anak-anak, kondisi anakku jauh
lebih baik. Mereka jarang sakit.
Aku tercenung mengingat 'pengobatan rasional'. Hey!
Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yg
kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan,
sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-
sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak
mengalami sakit ringan aku panik dan membawa ke
dokter, sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah
tindakan yang sama sekali tidak rasional!
Sistem kesehatan Belanda menerapkan betul apa itu
pengobatan rasional.
Aku baru mengetahui ibuprofen memang lebih efektif
menurunkan demam pada anak, sehingga banyak negara
termasuk Amerika Serikat,dipakai secara luas untuk
anakanak. Tetapi resiko efek sampingnya lebih besar,
Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun
obat ibuprofen tersedia di apotek dan boleh digunakan
usia anak diatas 6 bulan, di kedua negara ini,
parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan
pertama anak demam.
Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku
tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang
tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan.
Karena kekurangan dan ketidakmampuan,penyakit anak
sehari-hari, orang desa relatif 'terlindungi' dari paparan
obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang tinggal
di kota besar,cukup berduit,melek sekolah, internet dan
pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded
dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat
dan media. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat,
biasanya kita malah ngomel-ngomel, 'memaksa' agar si
dokter memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran
di media, bahkan tak jarang dokter-dokter 'menjual' obat
tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang
mengiklankan suatu produk obat.
Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan
dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan
obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek,
demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun
melakukannya karena nyontek senior. Apakah
manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu
saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah
gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum
lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat
manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa
semua itu terjadi?
Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak
menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya.
Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua,
bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas
kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari
semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak
menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni
ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua
baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana
mengurai keruwetan ini seharusnya? Memikirkannya aku
seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak
tahu, sungguh!
Aku sadar. Telah terjadi kesalahan paradigma pada
kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak
sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa
membawa obat. Aku ke dokter biasanya 'hanya'
konsultasi, memastikan diagnosa penyakit dan
penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa
anakku baik-baik saja.
Di Indonesia, ke dokter = dapat obat?
Sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet.
Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat.
Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan
hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas
meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi.
Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Percuma mencari-
cari ujung pangkal salahnya.Kondisi tersebut jelas tak
bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan?
Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan
obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi
seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan
pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk
merindukan bulan. Sebagai pasien kita pun tak bisa
tinggal diam. Setidaknya, bila pasien 'bergerak', masalah
kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian
obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa
diturunkan.
Dikutip dari buku "Smart Patient" karya dr. Agnes Tri
Harjaningrum
Semoga mencerahkan ya bunda-bunda, saya dapetnya
dari artikel suami..

Tidak ada komentar:

bersiin noda

1. Anti Noda Bandel ( Alkali) Sifat kimiawi : Merenggangkan (melemaskan / melembutkan) kontur serat dengan tujuan “membuka jalan” bagi molek...