Ayah, Bunda, suatu saat beberapa orangtua
menghampiri saya dan seorang diantaranya
mengatakan “Abah, saya masih belum bisa
menghentikkan anak berantem. Aduhh hampir
tiap hari itu kakak-adik berantem melulu!
Bagaimana mengatasinya, saya pusing
melihatnya tiap hari seperti itu.” Lalu seorang ibu
lain menimpali disebelahnya “Sama anak saya
juga seperti itu. Kenapa sih anak-anak ini rajin
banget berantem!”
Lalu saya katakan kepada mereka ada beberapa
hal yang dapat mereka lakukan agar mereka tidak
pusing. “Pertama, ucapkan kalimat
‘alhamdulillah!’ saat mereka berantem dan jangan
‘astaghfirullah’. Kedua, bersahabatlah dengan
berantem, jangan musuhi berantem karena
berantem itu baik.”
“Nah lho?!”, bengong tuh parents....
Lalu saya balik bertanya pada mereka, “adakah
anak yang memiliki saudara di rumah yang bebas
dari berantem alias tidak pernah berantem?”
Sebagian besar menggeleng, tapi seorang ibu
mengangkat tangan “Anak-anak saya tak pernah
berantem tuh! Tak pernah pukul-pukullan!”
“Mereka pernah marahan kan? Mereka pernah
berbeda pendapat kan? Mereka pernah rebutan
mainan kan?” tanya saya.
“Oh iya ya”.
“Berantem itu memang ‘wajib’ pukul-pukullan,
tidak kan bu?”
“Wah kalau begitu memang semua anak berarti
pernah berantem ya Bah....”
***
Ayah, Bunda, hampir semua anak yang memiliki
saudara pasti pernah merasakan konflik. Konflik
yang sering disebut dengan ‘bahasa pasar’
berantem ini bentuk bisa macam-macam, ada
yang hanya berbeda pendapat, rebutan barang/
makanan/mainan, hingga ada yang melibatkan
fisik. Jika hampir tidak ada satu pun anak yang
bebas dari pengalaman berantem, bukankah
berarti berantem itu seperti sengaja diciptakan
Tuhan untuk tujuan baik?
Ya, saya ingin mengatakan kepada semua orang,
awalnya konflik itu bagi anak adalah baik! Hal
yang semua anak akan mengalaminya. Sehebat
apapun orangtua mendidik anak, orangtua tidak
bisa menghindarkan anaknya dari konflik. Konflik
bagi orang dewasa tidaklah terlalu baik, tapi bagi
anak, terutama anak-anak usia 12 tahun ke
bawah konflik adalah kebutuhan! Bahkan, seorang
pakar tumbuh kembang menganggap anak yang
tak pernah bertengkar justru tidak normal! Nah,
karena sebuah kebutuhan, pengalaman konflik
pada anak-anak akan terus berulang. Meski
sebagian orangtua tidak menyukainya dan meski
orangtua ‘ratusan kali’ mengatakan ‘jangan
berantem terus deh, berantem itu tidak baik!’
Betapa tidak dibutuhkan, dari satu pengalaman
hidup di masa kecil inilah anak-anak akan
(seharusnya) mendapatkan bekal untuk
menghadapi konflik hidup di masa depan. Tidak
ada satu manusia pun setelah dewasa yang
bebas dari konflik bukan? Karena itu, konflik pada
anak seperti sengaja diciptakan Tuhan agar anak-
anak kita dapat belajar bagaimana mereka kelak
mengelola konflik di masa depan. Seperti seorang
anak harimau atau kucing, yang saat mereka
masih kecil sering terlihat bermain-main cakar-
cakaran, konflik di masa kanak-kanak adalah
ajang latihan bagi anak menghadapi konflik di
masa depan. Ada banyak dari kita yang memiliki
kompetensi hebat di bidang pekerjaan yang kita
geluti, tapi karena tidak bisa menghadapi konflik
membuat kita menjadi tak nyaman berlama-lama
di tempat kerja.
Setiap adik-kakak pasti akan bertengkar. Bahkan
adik-kakak 700 persen kali lebih sering
bertengkar ketimbang dengan teman sebayanya
masing-masing. Karena, mereka tahu, bahwa adik
atau kakaknya akan selalu ada, tidak akan pergi.
Menurut studi, adik-kakak yang bermain bersama,
meski saling mengejek, memiliki hubungan yang
lebih dekat ketimbang adik-kakak yang bermain
terpisah. Istilahnya Adik-kakak lebih baik berisik
karena bertengkar ketimbang damai tapi
berpisah. Berpisah dalam artian saling tak mau
menyapa dan bergaul karena satu membenci
yang lain.
Konflik pada awalnya adalah baik bagi anak.
Konflik berubah menjadi tidak baik saat orangtua
tidak mengelola konflik anak dengan baik.
Apalagi jika saat konflik, orangtua yang selalu
menyelesaikan masalah. Akhirnya, anak tidak
belajar apapun dari pengalaman konflik yang
mereka alami. Saat misalnya seorang adik
rebutan mainan dengan kakaknya, sebagian
orangtua menyelesaikannya dengan mengatakan
pada si kakak “Kakak, ngalah dong sama adik!
Adik kan masih kecil....”
Ayah, Bunda, jika penyelesaiannya seperti itu,
lihatlah ternyata bukan hanya kita tak melatih
anak menghadapi konflik, tapi justru kita
melebarkan konflik pada anak. Lihatlah, ternyata
praktik ketidakadillan juga dapat dimulai dari
rumah bukan? Mengapa seorang kakak harus
selalu mengalah pada adik? Adikknya masih
lemah, begitu alasannya? Tapi, sampai umur
berapa adik masih terus dibela? Mengapa
kebenaran ditentukan oleh usia? Mengapa jika
kakak membuat adik kecewa, dihukum? Mengapa
jika adik yang melakukannya, adik tidak dihukum?
Saat dua orang anak rebutan satu buah roti
misalnya, sebagian orangtua menyelesaikannya
dengan jalan instan dengan cara membagi roti itu
jadi dua untuk anaknya “yang ini buat kakak yang
itu buat adik”. Lihatlah praktik ini? Anak memang
berhenti dari konflik (sementara), tapi siapa yang
menyelesaikan masalahnya? Orangtua bukan?
Mengapakah bukan anak yang dilatih untuk
menyelesaikan masalahnya sendiri?
Atau solusi lain yang sering dilakukan orangtua
adalah selalu membelikan yang sama untuk
semua anak, supaya tak rebutan! Jika anaknya
dua, maka kuenya selalu dua dengan rasa yang
sama. Jika anaknya laki-laki dua-duanya, maka
saat beli mainan mobil-mobilan, dibelilah mobil
dengan model yang sama.
Jika solusinya seperti ini, sepintas ayah ibu
melihat ini sebagai solusi. Tapi sebetulnya
secara jangka panjang, efeknya anak jadi sulit
menemukan identitas diri, karena dia bingung
membedakan antara dirinya dengan saudara
kandungnya.
Ayah, Bunda, yuk bantu anak kita mengelola
konflik dengan baik. Konflik adalah sarana yang
diciptakan Allah untuk anak belajar, belajar
mengelola kehidupan. Yuk, bimbing mereka
mengelola konflik.
1.Bersahabat dengan konflik
Hal yang pertama kali harus Ayah dan Bunda
fahami, konflik itu tidak bisa dihindari. Sekuat
apapun kita berusaha, konflik itu akan hadir
menghiasi kehidupan anak kita. Meski kita tidak
menyukai dan mungkin anak kita pun bahkan juga
tidak menyukainya, konflik pada anak-anak kita
akan terus berulang. Wajar, karena manusia
diciptakan Allah berbeda-beda karena itu akan
terjadi perbedaaan keinginan, perbedaan
pemahaman, perbedaan cara bersikap dan
berperilaku. Perbedaan-perbedaan itu normal,
sepanjang diekspresikkan dengan cara yang baik
dan tidak merugikan siapapun.
Karena itu, saya mengajak Ayah Bunda semua,
yuk bersahabat dengan konflik, bukan memusuhi
konflik. Semakin Ayah Bunda musuhi, maka
semakin lelah dan pusinglah pikiran saat melihat
anak-anak kita berkonflik. Maka, coba rubahlah
perspesi Anda tentang konflik. Meski pikiran
masih belum menerima, coba bantu tenangkan
pikiran Anda dengan ucapkan kalimat ‘segala puji
bagi Allah’ saat Anda melihat fenomena anak-
anak tengah konflik.
Semakin sering pikiran dan cara berpikir Anda
dilatih dari sisi positif, memberikan persepsi
positif atas sebuah peristiwa, termasuk konflik,
semakin rileks Anda menghadapi anak-anak saat
mereka tengah konflik.
2.Libatkan Anak
Saat anak terlibat konflik dengan saudaranya,
sah-sah saja Anda terlibat. Tetapi, sebaik-baiknya
penyelesaian adalah yang melibatkan anak itu
sendiri. Jika mungkin, orangtua hanya jadi
fasilitator yang bertugas untuk membimbing anak
untuk mencari solusi atas permasalahan yang
mereka hadapi. Saat anak dilatih untuk
menyelesaikan sendiri masalah yang ia hadapi,
sejak saat itulah anak-anak memiliki modal untuk
menghadapi masalah-masalah yang lebih
kompleks di masa depan.
Saat anak terlibat adu mulut mengenai siapa
yang berhak untuk duduk di kursi depan mobil
misalnya, padahal kursi depan mobil dekat supir
itu hanya tersedia untuk satu orang, tak usah
terburu-buru menghentikkan konflik anak dengan
kalimat-kalimat solutif dari Anda: “sudah kalau
tak ada yang mau ngalah, nggak usah ada yang
ikut!” atau lagi-lagi dengan kalimat kuno “kakak,
ngalah dong sama adik!”. Tapi mari kita
kembangkan kalimat-kalimat yang membuat
pikiran dan ide anak terlibat “kursi di depan
hanya satu, gimana caranya biar semua
kebagian, ayoo siapa yang mau kasih ide ka
ayah?!” Jika anak berkeras dan bertegang untuk
tetap ribut barulah kita bisa beri penekanan
dengan kalimat “kalian harus putuskan dulu siapa
yang di depan karena jika tidak kita belum bisa
berangkat!” atau kalimat-kalimat lain yang
senada.
Jika anak rebutan sepotong roti padahal rotinya
hanya satu, maka Anda dapat katakan pada
mereka “Rotinya cuma satu, ayoo cari ide,
bagaimana agar semuanya kebagian!” inilah
metode yang melibatkan anak (otoritatif).
Sedangkan metode lainnya adalah metode yang
mengedepankan kekuasaan (otoriter) orangtua
untuk menyelesaikan masalah anak “Rotinya
cuma satu, sini mama bagi... ini buat adik dan ini
buat kakak” atau yang lebih parah “Kalau kalian
tak mau berbagi, sini rotinya mama makan!”
Metode otoritatif memerlukan sedikit waktu dari
Anda untuk bersabar memberi kesempatan anak
menyelesaikan masalah, tetapi secara jangka
panjang memudahkan orangtua sendiri karena
tidak harus selalu mengatur dan menyelesaikan
semua masalah anak. Sedangkan metode otoriter
mungkin dapat menyelesaikan konflik anak lebih
cepat tetapi secara jangka panjang justru
menumpulkan kekuatan pikiran anak dan akhirnya
merepotkan orangtua sendiri karena orangtua
harus selalu yang menyelesaikan terlalu banyak
masalah anak yang bahkan pada hal sepele
sekalipun.
Saat Anda memiliki dua anak, tidak harus
dibelikan mainan dengan model yang sama atau
makanan dengan rasa yang sama, biarkan anak
memilih sesuai dengan selera mereka sendiri
sepanjang dalam batas budget orangtua dan
toleransi orangtua. Yang terbaik, kalau mau
membelikan dua barang, biarlah anak masing-
masing memilih yang dia sukai. Contohnya, kalau
mau beli kaus, si kakak mau beli kaus biru, maka
adik boleh cari warna lain, jika sama boleh-boleh
saja, tetapi kalau bisa berbeda dari kakak. Kalau
beli mainan, mungkin si adik memilih bola,
sementara kakak diminta cari mainan yang
berbeda.
3.Aturan yang jelas
Anak-anak akan terus kesulitan menyelesaikan
masalah yang mereka hadapi terus mengulangi
hal yang sama berulang-ulang karena kadang-
kadang orangtua menerapkan aturan yang
‘samar-samar’ pada anak berkait dengan
masalah-masalah yang biasanya dihadapi anak.
Aturan itu untuk mengatasi ketidakaturan bukan?
Setiap keluarga harus memiliki aturan yang jelas
di rumah sesuai dengan nilai-nilai yang orangtua
pegang sendiri. Minimal di rumah sendiri karena
yang merepotkan jika konflik ini terjadi dengan
anak lain yang bukan saudara anak kita, anak
tetangga misalnya. Untuk ini mungkin ada dapat
mengajak bekerjasama dulu dengan para
orangtua anak-anak tempat anak Anda bergaul.
Ada beberapa aturan yang harus secara jelas
menjadi aturan main di rumah kita sendiri:
a. Milik siapa?
Siapapun di rumah harus meminta izin untuk
menggunakan barang/mainan kepunyaan yang
lain. Jika misalnya seorang kakak menginginkan
untuk memainkan sepeda adik, maka ia harus
izin sama adik. Jika adik tak mengizinkan, maka
orangtua wajib menegakkan. Demikian juga jika
adik memakai barang kakak dan kakak ternyata
tak ridlo, adik harus mengembalikannya.
Orangtua harus menegakkannya! Jika adik
menangis, biarkan ia menangis. Jangan sampai
keadilan dikalahkan perasaan . Menangis adalah
strategi wajar seorang anak, tapi jika anda
konsisten, dijamin, insya Allah anak menjadi tidak
gampang nangis lagi.
Cara mengembalikan sebaik-baiknya dilakukan
metode yang melibatkan anak seperti yang
pernah dicontohkan di atas: "Sekarang itu punya
kakak, dan kakak tidak mengizinkan, kamu mau
mengembalikan sendiri atau mama yang ambil
dan kembalikan?" Tentu konsekuensinya berbeda.
Jika anak mengembalikan sendiri maka anak
misalnya tidak akan mendapatkan konsekuensi
apapun, sebab perbuatan mengembalikannya
sendiri sudah perbuatan baik. Tapi jika anak
memilih orangtua yang mengembalikan, anak
boleh diberikan konsekuensi karena dengan
demikian anak tidak mau menanggung tanggung
jawab atas perbuatan buruk yang telah
dilakukan. Konsekuensinya bisa berupa penyitaan
mainan, time out di kamar, dll Tentang jenis-jenis
konsekuensi baca tulisan abah yang lain
"bagaimana menghadapi perilaku anak yang
keras".
Tugas orangtua selanjutnya adalah melatih
siapapun di rumah itu untuk belajar berbagi.
Ceritakan cerita-cerita positif tentang berbagi
melalui permisalan binatang, memakai jari-jari
Anda sendiri, menggunakan ballpoint,
menggunakan buku, menggunakan alat-alat lain
yang mengenalkan anak tentang cara berbagi.
Jika anak sudah mulai beranjak dewasa
ceritakan tentang kehebatan orang-orang besar
di dunia yang memiliki sensitivitas berbagi dan
mengasihi seperti Rasululullah Muhammad, Abu
Bakar, Salahudin Al-Ayubi, Mahatma Gandhi, Bill
Gates, dll.
b. Siapa yang duluan & kapan bergantian?
Tingkah anak-anak kadang bikin geli sekaligus
bikin pusing orangtua. Ada saja yang mesti
diributkan anak. Ada beberapa ‘inventaris’
keluarga yang sebenarnya bukan milik seseorang,
alias sebenarnya milih ayah ibu atau milik semua
orang di rumah, alias milik bersama, alias milik
umum, diklaim oleh salah seorang anak menjadi
seolah-olah menjadi miliknya. Malah kadang
anak-anak ini maunya semuanya milik mereka.
Duh!
Rebutan kursi meja makan, rebutan kursi di
mobil, rebutan memeluk ayah, rebutan memeluk
ibu, rebutan diceritakan buku sama orangtua, dan
contoh lain akan banyak kita temukan. Nah jika
kasus seperti ini keputusan tertinggi Anda di
manajer rumah yang bertanggung jawab terhadap
keutuhan dan aturan main penggunaaan barang
milik umum tadi. Silahkan buat aturan tentang
penggunaan ‘inventaris umum’ tadi.
Ada setidaknya dua metode yang dapat
diterapkan: metode SIAPA DULUAN atau metode
JADWAL BERGANTIAN. Metode mana yang mau
dipilih, keputusan ada di tangan Anda. Insya
Allah dua-duanya positif sepanjang dibicarakan
dengan anak. Jika yang duluan di kursi depan
dekan driver adalah si Kakak, maka adik tidak
bisa menyerobot! Demikian juga sebaliknya,
Kakak tak berhak mengusir adik karena
aturannya sudah ditetapkan bukan?
Tetapi, jika Anda merasa bahwa salah satu anak
‘terlalu cerdas’ sehingga tak pernah kehilangan
akal untuk ‘mengakali’ adik dan akibatnya anak
yang lain selalu ‘kalah’, maka metode SIAPA
DULUAN dapat anda ganti dengan metode
JADWAL BERGANTIAN. Jika hari ini yang duduk
di depan mobil Kakak, maka keberangkatan
berikutnya selalu adik! Mengenai siapa yang
dapat menggunakan duluan, silahkan serahkan
pada anak untuk memutuskan.
c.Boleh intervensi, saat mulai merugikan
Orangtua boleh intervensi dan terlibat lebih dalam
untuk membantu menyelesaikan konflik anak jika
konflik anak tersebut sudah mengarah pada
kekerasan fisik dan kekerasan verbal yang
berlebihan. Saat salah seorang anak hendak
memukul anak yang lain, orangtua harus
memegang tangan anak sehingga ia tak jadi
memukul.
d.Semua orang boleh marah, tetapi tidak menyakiti
& merusak
Silahkan terapkan ‘dekrit’ ini di rumah: “Siapapun
di rumah ayah dan ibu boleh marah. Adik boleh
marah sama kakak, kakak juga boleh marah
sama adik jika merasa dirugikan. Tetapi, semua
orang di rumah ini tidak diterima untuk menyakiti
dan merusak. Mendorong itu menyakiti, memukul
itu menyakiti, mencubit itu menyakiti, menendang
itu menyakiti, melempar saudaranya dengan
sebuah benda juga menyakiti. Juga di rumah ini
tidak diterima merusak barang saat marah,
melembar piring, gelas, buku, dan barang apapun
tidak diterima. Jika ada yang mau marah
silahkan keluarkan lewat mulut, silahkan bicara.
Kalau adik tidak suka dengan perlakuan kakak
bilang sama kakak ‘kakak, aku tidak suka!’ atau
sebaliknya.
Memang tak langsung bisa, tapi bimbing terus
anak untuk mengungkap dan mengeluarkan
perasaan-perasaan tidak nyamannya dengan cara
yang lebih baik: lewat mulut! Jika anak-anak kita
tak dilatih untuk mengeluarkan emosi-emosi
negatifnya dengan cara yang baik, maka bisa jadi
ia memiliki cukup tenaga untuk mengeluarkannya
lewat jalan kekerasan! Latihlah terus anak untuk
mengelola marahnya dengan cara yang baik
(anger management).
Turunan dari ini, orangtua harus menggali dari
anak untuk memilih konsekuensi-konsekuensi
yang mungkin akan anak dapatkan jika mereka
melanggarnya. Biarkan anak-anak itu yang
memutuskan konsekuensi seperti apa yang
mereka akan dapat agar mereka merasa rugi
dengan perbuatan mereka yang merugikan.
Buat tawar menawar terhadap konsekuensi ini
dengan orangtua. Jika anak mengajukan
konsekeunsi yang tak sesuai, orangtua boleh tak
menyetujuinya. Misalnya, saat anak memukul,
anak mengajukan konsekeunsi minta maaf. Itu
betul, tetapi ini sama sekali belum tepat. Karena
anak akan gampang minta maaf tapi tak merasa
rugi betul dengan perbuatannya yang merugikan.
Orangtua juga boleh mengajukan tawaran pada
anak misalnya: siapapun yang menyakiti akan
diberikan konsekuensi misalnya: dikurangi uang
jajan, dikurangi jam nonton tv/vcd, metode time
out atau dikeluarkan dari rumah selama 10 menit
atau tak boleh keluar kamar selama setengah
jam seperit Nanny 911.
4. Syarat Melindungi yang Lemah
Salah satu metode yang termasuk paling sering
diterapkan oleh orangtua adalah bahwa KAKAK
HARUS MENGALAH SAMA ADIK. Argumen
utamanya: adik masih lemah! Maka yang kuat
harus melindungi yang lemah! Atau adiknya
masih belum mengerti, yang sudah mengerti
harus mengalah pada yang belum mengerti.
Argumen ini dapat dibenarkan tetapi harus hati-
hati menerapkannya. Yang ideal adalah tetap
menegakkan aturan-aturan jelas seperti di point
ketiga. Tetapi jika orangtua menganggap sang
adik masih terlalu lemah dan terlalu sulit untuk
mengerti dan diberi penjelasan, orangtua boleh
menggunakan METODE MELINDUNGI YANG
LEMAH ini dengan beberapa syarat:
a.Lakukan pembatasan
Saat orangtua menerapkan metode yang kuat
mengalah pada yang lemah atau yang mengerti
mengalah pada yang belum mengerti, orangtua
harus memberikan ‘SOP’ yang jelas sampai
kapan adik masih dianggap lemah sehingga
belum dapat mengendalikan keinginannya secara
wajar dan sampai usia berapa adik mash
dianggap belum mengerti.
Jika Anda bertanya kepada saya kira-kira kapan
anak-anak tidak boleh lagi dibela, saya akan
menjawabnya saat anak-anak sudah bisa
membedakan mana tangan kanan dan mana
tangan kirinya, kira-kira usia 3-5 tahun
bergantung kemajuan perkembangan mental
anak. Karena ketika mereka sudah bisa
membedakan mana tangan kanan dan mana
tangan kiri, sejak saat itulah anak-anak sudah
dapat menyerap nilai-nilai dan sudah dapat
membedakan mana baik dan mana yang buruk
atau mana yang benar dan mana yang salah.
Anda dapat mengatakan pada si Kakak “Ayah
janji, nanti kalau adik sudah umur 3 tahun atau
saat adik sudah bisa tau tangan kanan dan
kirinya, ayah takkan bela adik lagi!”
b.Berikan reward lebih pada si Kakak yang
mengalah
Pemberitahuan bahwa si adik akan dibela secara
terbatas sampai usia tertentu bagi si kakak
sebetulnya belumlah cukup. Karena itu, kuatkan
dengan cara memberi reward lebih pada si kakak
saat si kakak mau mengalah pada adik. Reward
itu tidak harus selalu berbentuk materi atau
hadiah berupa benda atau barang yang ia sukai.
Kalimat-kalimat positif dapat orangtua keluarkan
saat itu juga, di TKP, saat orangtua memergoki
kakak ternyata mau mengalah sama adik. “Sini
sayang... mama mau bisik-bisik... kakak hebat,
kakak memang anak mama yang paling mengerti,
tidak seperti adik, adik dibilangi gimana juga
sama mama, aduhh pokoknya susah, belum
sepintar kakak ya! Insya Allah mama takkan bela
lagi adik kalau adik sudah pintar kayak kakak!”
Reward juga dapat berupa pemberitan otoritas
lebih pada si kakak untuk melakukan sesuatu,
yang belum dapat diberikan pada adik. Misalnya
kakak dapat diberikan uang saku dan diberikan
otoritas penuh untuk menggunakan uang saku itu
sendiri, sementara adik belum dapat diberikan
uang saku. Atau contoh lain Kakak dapat memilih
VCD nya sendiri sepanjang aman dan disetujui
ayah ibu sementara adik belum boleh membeli
VCD. Dengan pemberian reward lebih ini, sang
kakak akan merasa bahwa tidak rugi ia mengalah
sama adik karena pada banyak hal lain ia justru
diberikan kelebihan dan kewenangan lebih
orangtuanya.
5.Fokuskan pikiran anak pada saling mencintai
Semua orang ingin anaknya saling mencintai
daripada saling memusuhi. Tetapi masalahnya
adalah sebagian orangtua lebih memperhatikan
anak saat mereka bermusuhan daripada saat
mereka saling menyayangi. Maksud saya adalah
sebagian orangtua lebih banyak ngomong saat
anak-anaknya berantem daripada saat anak-
anaknya bermain bersama. Karena itu, fokuskan
pikiran anak agar saling mencintai saudaranya
antara lain dengan beberapa cara:
a.Berikan perhatian pada saat mereka bekerjasama
dibandingkan saat mereka berantem
Sebagian orangtua justru memperhatikan anak
dan terlalu banyak bicara pada anak saat mereka
berantem ketimbang saat mereka bekerjasama.
Jika seperti ini yang dilakukan secara tak sadar
orangtua justru tengah memfokuskan anak untuk
semakin sering berantem dibandingkan menyukai
bekerjasama.
Agar anak lebih menyukai bekerjasama daripada
berantem, fokuskan pikiran anak pada
bekerjasama daripada pada berantem. Caranya
adalah dengan banyak memperhatikan anak dan
memberi komentar positif ketika mereka sedang
bermain bersama tanpa bertengkar, daripada
pada saat mereka berantem. Misalnya dengan
mengatakan, ”Pintarnya Kakak dan Adik main
bersama,” atau, ”Kalian berdua rukun sekali,
Bunda senang deh.” Dan kurangi untuk
memberikan terlalu banyak komentar pada saat
mereka berantem dengan sering mengatakan
“Aduh! Kalian ini kok senangnya berantem!”
b.Mempersiapkan mental kakak sebelum kelahiran
adik
Jauh sebelum anak kedua lahir, Anda bisa
melibatkan si calon kakak dengan aktivitas yang
berhubungan dengan menyambut kehadiran adik
barunya. Installkan informasi-informasi positif
tentang enaknya punya adik, fokuskan pada
kebaikan-kebaikan yang akan kakak dapatkan jika
adik lahir. Bahwa akan ada teman baru untuk si
kakak di keluarga kelak. Bahwa kakak bisa lebih
banyak asyik lagi bermain. Bahwa si adik dapat
menjadi seperti ‘boneka’ untuk si kakak. Banyak
si kakak yang seperti ‘berubah’ perilakunya
setelah adik lahir akibat kurangnya orangtua
memersiapkan mental si kakak pada saat
kelahiran adik.
c.Latih BERMUSYAWARAH
WA’TAMIRUU BAINAKUM BIMA’RUUF, dan
musyawarahkanlah diantara kamu dengan baik,
demikian perintah Allah kepada manusia saat
menghadapi konflik seperti tercantum dalam
surat ke-65: At-Tholaq ayat 6. Latihlah terus
anak-anak bermusyawarah saat mereka
mendapatkan perbedaan dalam sebuah masalah.
Biarkan mereka mengambil keputusan atas
perselisihan yang mereka buat. Tidak mudah
memang, tapi semakin sering dilatih, insya Allah
anak-anak kita semakin terlatih untuk
bermusyawarah.
Orangtua boleh melakukan sedikit penekanan
saat mereka enggan bermusyawarah saat salah
satu atau semua anak kita BERSIKAP maunya
menang sendiri. Metode yang dapat dilakukan
misalnya, dengan mengeluarkan anak keluar
rumah sementara dan mempersilahkan untuk
menyelesaikan masalahnya di luar. Anak-anak
baru diperbolehkan masuk ke dalam rumah jika
mereka sudah mendapat keputusan bersama
atas perselisihan yang mereka lakukan. Saat
mereka berebut kursi di dekat driver, orangtua
dapat mengatakan bahwa mobil tidak akan
majukan atau tidak akan berangkat sampai
mereka membuat keputusan.
*Tulisan ini dikutip dari buku best seller
"Sudahkah Aku Jadi Orangtua Shalih?" yang
ditulis oleh penulis